Makna Idul Fitri

        Ada rasa bahagia sekaligus sedih memenuhi relung hati setiap orang yang beriman (mukmin) kala Idul Fitri tiba. Bahagia lantaran sebagai hamba dia telah mampu menyelesaikan satu bentuk pendidikan sekaligus ujian yang diberikan oleh Tuhannya berupa kewajiban menunaikan ibadah-ibadah khusus selama Ramadhan, dengan harapan dan keyakinan akan ampunan  atas segala kesalahan dan dosannya serta memperoleh pahala dan kebahagiaan yang tak terkira sebagaimana janji-Nya.

        Di sisi lain seorang mukmin merasa teramat sedih lantaran harus berpisah dengan Ramadhan, bulan istimewa dengan beragam keutamaannya. Ada sebuah suasana, semangat dan gelora keimanan yang luar biasa di dalam Ramadhan yang mana hal itu tidak dapat dijumpai di bulan-bulan lain. Mereka merasakan betul kebenaran penegasan Rasulullah SAW bahwa seandainya manusia memahami kebaikan-kebaikan di bulan Ramadhan maka mereka pasti akan berharap bahwa satu tahun itu adalah Ramadhan seluruhnya.

Kembali kepada Fitrah

    Idul Fitri adalah kembali kepada kondisi fitrah, yakni kondisi awal penciptaan manusia. Dalam Al Qur-an surat Ar Ruum ayat 30 Allah berfirman yang artinya:  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

        Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid yakni menyembah Tuhan yang satu Allah SWT. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar (menyimpang dari fitrah). Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

    Berbagai amal ibadah di bulan Ramadhan semuanya mengarahkan dan mengantarkan para pelakunya (orang-orang beriman) kepada kondisi fitrah ini. Puasa (shaum) mengajari setiap muslim untuk senantiasa merasakan keberadaan dan pengawasan Allah (muraqabatullah), dengan demikian ia akan senatiasa berbuat kebaikan dan melandasi segala aktifitasnya dengan keikhlasan. Bagaimana tidak, sangat mudah bagi mereka bersembunyi dari pantauan manusia dan membatalkan puasanya (misal dengan makan dan minum), dan kemudian di hadapan khalayak tetap berpura-pura layaknya orang berpuasa.  Akan tetapi berangkat dari keimanan dan perasaan muraqabatullah dalam hatinya menjadikan mereka tetap komitmen menjalankan puasa. Dengan shaum seorang hamba mampu mengendalikan jiwanya untuk tidak berkubang dalam kehinaan, kenistaan dan kesenangan materi duniawi. Sebaliknya jiwa tersebut dibawa membumbung tinggi pada keluhuran, kesempurnaan dan kebahagiaan di sisi Tuhannya.

        Madrasah Ramadhan telah membiasakan setiap muslim untuk selalu dekat dengan Al Qur-an. Jiwa-jiwa yang suci (sesuai fitrah) tidak hanya menyadari keberadaan Tuhannya tapi mereka juga meyakini dan menyadari bahwa Tuhannya juga telah menurunkan panduan dan pedoman hidup yakni firman-firman-Nya yang terhimpun dalam kitab suci. Tidak mungkin manusia akan sampai berjumpa dengan Allah dan mendapatkan kebahagiaan di sisi-Nya tanpa mengikuti rambu-rambu jalan dan aturan yang Dia tetapkan, dan semua itu terdapat dalam Al Qur-an. Di sisi lain ketika kita berbicara tentang Islam, maka sesungguhnya rujukan utama ajarannya tidak lain adalah Al Qur-an. Maka tidak mungkin seseorang akan menjadi muslim yang sempurna tanpa memahami Al Qur-an. Dari sinilah kita dapat menyatakan bahwa adalah sebuah keniscayaan seorang muslim harus erat berinteraksi dengan kitab sucinya. Interaksi tersebut meliputi: membacanya (tilawah), memahami isinya, mengamalkan ajarannya, menghafalakan ayat-ayatnya (tahfizh), serta mengajarkannya kepada orang lain.

        Ramadhan juga membiasakan kaum muslimin dengan qiyamullail. Sebuah aktifitas yang menjadi bekal kekuatan Rasulullah SAW menerima amanah dakwah yang teramat berat untuk dipikul. Allah SWT berfirman yang artinya “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat.” (Al Muzzammil: 1-5). Dengan memperbanyak qiyamullail hubungan seorang hamba dengan Allah kian erat dan kokoh. Tingkat tawakal mereka juga semakin tinggi, sehingga jiwa mereka akan kuat dan tidak goyah lantaran yakin dengan dukungan Allah SWT.

Demikian juga seluruh amal sholih yang lain di bulan Ramadhan seperti memberi makan orang miskin dan orang yang berpuasa, menghadiri majelis ilmu, i’tikaf, umroh, silaturrahim, zakat semuanya mengandung hikmah besar yang muaranya adalah mengantarkan para pelakunya pada kondisi kesucian (fitrah). Seluruh aktifitas ibadah tersebut menyampaikan para pelakunya pada derajat ketaqwaan, sebuah kondisi kesadaran penuh sebagai seorang hamba yang akan senatiasa mengingat dan menyadari keberadaan Tuhannya, dan kemudian dia akan bersikap tunduk dan patuh kepada-Nya. Ia senantiasa siap memberikan ketaatan dan menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian sesuai aturan (syari’at)-Nya.

Jangan Mengurai Benang Yang Telah Dipintal Rapi

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali...” (An Nahl: 92)

Ayat ini memberikan sebuah perumpamaan tentang perbuatan sia-sia dan merugikan, di mana seseorang yang telah bersusah payah memintal kumpulan benang menjadi kain yang bagus, kemudian malah dia urai kembali hingga tercerai berai.

Berbagai latihan dan gemblengan yang diterima oleh setiap mukmin satu bulan penuh seyogyanya menjadikan mereka keluar dari Ramadhan menjadi pribadi-pribadi yang baik (sholih) dan suci sesuai fitrahnya. Artinya kesholihan dan kesucian tersebut tidak hanya mereka capai di bulan Ramadhan saja, tetapi yang lebih penting lagi adalah dapat dia pertahankan di luar Ramadhan. Seluruh kebaikan yang mereka lakukan di bulan Ramadhan harus tetap dipertahankan bahkan berusaha ditingkatkan dan disebarkan di luar Ramadhan. Dengan demikian ada sebuah perubahan atau peningkatan kualitas kesholihan seorang mukmin dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dengan madrasah Ramadhan. Jika sebelum Ramadhan seseorang jarang sholat berjamaah di masjid, kemudian selama Ramadhan dibiasakan dan ringan melangkah ke masjid, maka setelah Ramadhan dia akan senantiasa berusaha mempertahankan kebiasaan sholat jamaah di masjid tersebut. Inilah orang yang berhasil dengan Ramadhannya dan menggapai ‘Idul Fitri. Tapi jika memasuki Syawwal justru kemudian berbalik kepada kebiasaan sebelum Ramadhan, sehingga kebiasaan-kebiasaan baik selama Ramadhan tidak ada sedikitpun sisanya, sungguh mereka tidak menggapai Idul Fitri.


Dikutip dari https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/memaknai-idul-fitri#:~:text=Idul%20Fitri%20adalah%20kembali%20kepada,menciptakan%20manusia%20menurut%20fitrah%20itu. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak