Telaah Kritis Konsep Trikotomi Clifford Geertz: Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa
Abstrak
Teori trikotomi Abangan, Santri, dan Priyayi yang diperkenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam karyanya The Religion of Java (1960), adalah kerangka analisis yang sangat berpengaruh dalam menginterpretasikan keberagaman agama dan kebudayaan masyarakat Jawa. Berdasarkan penelitiannya di Mojokuto (sebuah kota fiksional di Jawa Timur), Geertz mengklasifikasikan masyarakat Jawa ke dalam tiga varian kebudayaan yang mencerminkan orientasi keagamaan, sosial-ekonomi, dan politik yang berbeda. Artikel ini membahas karakteristik utama dari ketiga varian tersebut, relevansinya sebagai alat analisis, serta tinjauan kritis yang muncul terhadap penyederhanaan realitas sosial yang Geertz lakukan.
Pendahuluan
Studi mengenai agama dan kebudayaan Jawa tidak terlepas dari karya monumental Clifford Geertz. Dengan menggunakan pendekatan Antropologi Interpretatif (Thick Description), Geertz berusaha menafsirkan sistem simbol yang membentuk "Agama Jawa" (Islam yang telah tersinkretisasi dengan tradisi lokal). Geertz berargumen bahwa kerangka trikotomi ini mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, membedakan orientasi keagamaan menjadi tiga aliran besar yang saling berinteraksi, dan terkadang berkonflik, di ranah sosial dan politik.
Tiga Varian Kebudayaan Jawa Menurut Geertz
Geertz mengaitkan ketiga varian tersebut tidak hanya dengan orientasi keagamaan, tetapi juga dengan stratifikasi sosial, pola mata pencaharian, dan lokasi geografis:
1. Abangan (Agama Jawa)
Varian ini mewakili titik berat pada aspek animistik dan Hindu-Buddha dari sinkretisme Jawa.
Orientasi Keagamaan: Tidak ketat dalam menjalankan syariat Islam normatif (seperti salat dan puasa). Mereka mempraktikkan "Agama Jawa" yang berpusat pada pemujaan roh halus dan upacara adat.
Ritual Inti: Slametan, sebuah pesta ritual komunal yang berfungsi untuk menjaga keselarasan kosmik dan sosial, serta pengobatan dengan mantra dan sihir.
Asosiasi Sosial: Secara luas dihubungkan dengan elemen petani (wong cilik) di daerah pedesaan.
2. Santri (Ortodoksi Islam)
Varian ini mewakili titik berat pada aspek Islam yang ortodoks dan puritan.
Orientasi Keagamaan: Menjunjung tinggi ajaran Islam yang murni, ketaatan pada syariat (melaksanakan salat lima waktu, puasa Ramadan, zakat).
Institusi: Terkait erat dengan pesantren sebagai pusat pendidikan dan pemurnian agama.
Asosiasi Sosial: Sering dihubungkan dengan elemen pedagang di daerah pasar dan perkotaan. Santri cenderung lebih sejahtera dibandingkan Abangan petani.
3. Priyayi (Tradisi Keraton/Birokrasi)
Varian ini dihubungkan dengan warisan aristokrasi feodal dan tradisi Hindu-Buddha yang terinternalisasi dalam keraton.
Orientasi Keagamaan: Menekankan pada Kebatinan (mistisisme Jawa) dan etiket Jawa yang adiluhung (alus). Mereka menjalankan ritual keagamaan yang cenderung berbau laku (tirakat) dan spiritualitas yang bersifat esoteris.
Asosiasi Sosial: Secara luas dihubungkan dengan elemen birokratik (pegawai pemerintah/aristokrat) dan tinggal di perkotaan. Mereka adalah pewaris utama kesenian (wayang, gamelan), kesusastraan, dan birokrasi Jawa.
Relevansi dan Kritik terhadap Teori Geertz
Meskipun teori trikotomi Geertz telah menjadi landasan kajian sosial di Indonesia, teori ini juga mengundang sejumlah kritik akademis:
Relevansi Teoritis
Kerangka Awal Analisis: Trikotomi ini memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami keragaman orientasi keagamaan yang pada masa itu terlihat ambigu.
Dinamika Sosial Politik: Konsep ini membantu menjelaskan polarisasi politik pada era 1950-an hingga 1960-an (di mana Abangan cenderung ke PKI/Nasionalis, Santri ke partai-partai Islam, dan Priyayi ke birokrasi atau PNI).
Tafsir Kebudayaan: Geertz berhasil mendeskripsikan agama sebagai sistem simbol yang membentuk motivasi dan tata tertib eksistensi masyarakat Jawa.
Kritik Akademis
Penyederhanaan Realitas: Kritik utama adalah bahwa kategorisasi ini terlalu kaku dan menyederhanakan realitas masyarakat Jawa yang jauh lebih kompleks dan dinamis. Dalam praktiknya, batas antara ketiga varian sering kali kabur, dengan individu mempraktikkan ritual dari dua kategori atau lebih (sinkretisme yang berlanjut).
Mencampuradukkan Struktur: Beberapa kritikus berpendapat bahwa Geertz keliru mencampuradukkan struktur keagamaan (santri-abangan) dengan stratifikasi sosial vertikal (priyayi). Istilah priyayi lebih merupakan masalah kelas sosial dan birokrasi, bukan orientasi keagamaan yang spesifik.
Kasus Lokal (Mojokuto): Teori Geertz didasarkan pada studi kasus di Mojokuto dan mungkin tidak merepresentasikan keseluruhan tradisi keagamaan di seluruh Jawa, yang memiliki variasi regional yang signifikan (misalnya, Jawa Barat atau pesisir utara).
Relevansi Kontemporer: Dalam konteks kontemporer, mobilitas sosial, urbanisasi, dan revival Islam telah menyebabkan tergerusnya batasan trikotomi ini. Banyak keturunan Abangan kini menjadi Muslim yang taat, dan Priyayi modern tidak lagi identik dengan birokrasi feodal.
Kesimpulan
Teori trikotomi Abangan, Santri, dan Priyayi oleh Clifford Geertz tetap menjadi titik tolak penting dalam kajian sosiologi dan antropologi Indonesia. Karya ini berhasil memetakan keragaman dan ketegangan struktural dalam masyarakat Jawa pada pertengahan abad ke-20. Meskipun menghadapi kritik karena sifatnya yang terlalu kategoris dan penyederhanaan, konsep Geertz tetap relevan sebagai kerangka historis untuk memahami interaksi kompleks antara Islam, tradisi lokal, dan stratifikasi sosial dalam sejarah kebudayaan Jawa. Seiring perkembangan zaman, studi kontemporer perlu melampaui trikotomi ini untuk merefleksikan realitas keberagamaan Jawa yang semakin cair dan dinamis.