Komunitas Islam Bonokeling Banyumas

ISLAM ABOGE di Jatilawang Pakuncen Banyumas

    Sejarah Islam Kejawen Bonokeling Bonokeling merupakan salah satu tokoh Islam Kejawen di dusun Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas. Ada banyak versi megenai asal usul Bonokeling. Ada yang mengatakan bahwa ia seorang tokoh dari pasir luhur sebuah desa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Baratyang berada di bawah kekuasaan kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Menurut penuturan Sumitro (ketua adat bonokeling) Bonokeling masuk ke Pekuncen Jatilawang diperkirakan pada waktu islam masuk ke tanah Jawa. Pada masa kerajaan Demak Syekh Maqdum Wali datang ke pasir atas perintah Raden Patah untuk mengislamkan Pasir. Islam diperkirakan masuk ke pasir pada abad ke 17 atau tahun 1600 an. Setelah daerah pasir banyak yang memeluk ajaran Islam kemudia Bonokeling Bonokeling dalam menyebarkan ajarannya memilih daerah Pekuncen, karena lokasi tersebut dari segi geografis tanahya subur, dan ada aliran air sungai. Filosofis orang dulu setiap mencari tempat tinggal selalu mencari daerah yang ada aliran airnya, karena untuk keperluan hidup sehari-hari dan bercocok tanam. 

    Kepada masyarakat Bonokeling mengajarkan bercocok tanam dengan tujuan bahwa manusia itu harus berusaha tidak sekedar mengandalkan hasil alam. Pekuncen memiliki keamanan yang relatif stabil dari pengaruh dari luar, sehingga menetaplah Bonokeling di situ. Sebelum Bonokeling datang masyarakat Pekuncen sudah lebih dulu mengenal budaya jawa dari leluhurnya. Sehingga ketika bonokeling masuk ke Pekuncen untuk mendakwahkan Islam ia tidak merubah struktur yang sudah ada, akan tetapi berusha untuk berdampingan dengan ajaran dari nenek moyang sudah mereka anut. Kata Bono artinya wadah atau tempat, sedangkan Keling artinya hitam., makna hitam sendiri menurut mereka adalah langgeng / abadi, mereka juga menggunakan iket kepala yang tujuannya untuk mengikat hawa nafsu. Bonokeling berasal dari Kerajaan Pasir dan datang ke pekuncen untuk babat alas, disitu mengembangkan sosial, budaya, agama, dan bercocok tanam. Kemudian setiap mau musim tanam dan ketika panen melakukan selamatan. 

    Selain itu Bonokeling juga mengajarkan ritual punggahan yang dilaksanakan pada akhir bulan sya’ban atau hari Jumat terakhir menjelang bulan ramadhan. Jika pada bulan Asyura dalam tradisi anak putu Bonokeling mengadakan puji-pujian dimulai pada malam Jumat Wage, malam Jumat Manis, dan malam Jumat Kliwon. Yang di baca pada puji-pujian ini adalah doa-doa dari Makkah dan Madinah yang dibaca 1 rapalan/ucapan (25 kali). Pembacaan pujian ini dulmulai pukul 23.00 – 03.00. setelah selesai maka diadakan doa bersama dengan anak putu yang dipimpin oleh Juru Kunci. Dalam istilah mereka adalah tradisi Wirakatan (lek-lekan) yaitu boleh makan tapi tidak boleh tidur, sedangkan tirakatan yaitu tidak boleh makan tetapi boleh tidur. Anak putu Bonokeling sampai saat ini tidak pernah ada konflik ataupun sengketa hingga keturunan ke 13 karena nerima, pandangannya lurus menghadap ke depan untuk menghadap Tuhan, sebab surga dan neraka itu tergantung pada perilaku kita sendiri. Anak Putu Bonokeling yang masih dalam 1 Keturunan Juru Kunci atau Bedogol, kebanyakan tinggal di Cilacap dan mereka akan datang ke makam Bonokeling pada hari-hari tertentu untuk melakukan ritual. Kalau berkunjung ke makam Bonokeling harinya harus tepat dan ada tata caranya. Pertama harus menemui Juru Kuncinya kemudian harus mengadakan selamatan terlebih dulu karena untuk menjaga tradisi yang diajarkan bonokeling. Selamatannya yaitu dengan membuat tumpeng yang di dalamnya terdapat ingkung ayam. Ayam yang digunakan untuk ingkung harus ayam kampung jantan, ingkung di posisikan seperti orang sujud dengan kaki di tekuk kemudian di atasnya ditutupi nasi sebagai tumpeng. 

    Menurut Sumitro makna filosofi dari ingkung tersebut sebagai gambaran ketika Nabi Muhammad mendapatkan Wahyu di Goa Hira. Tumpeng dibuat segitiga dengan ingkung di dalam sehingga posisi tumpeng akan terlihat ada rongga dari belahan ingkung. Setiap perempuan yang berjilbab ingin masuk ke makam Bonokeling harus menanggalkan jilbabnya, karena bonokeling datang ketika pekuncen sebelum ada agama islam dan masih menjalankan tradisi jawa. Sehingga untuk menghormati tradisi tersebut setiap perempuan yang akan masuk harus melepas semua atribut agama yang melekat. Menurut mereka aurat yang ditutupi bukan kepala, akan tetapi hati yang harus ditutupi untuk berbuat baik. Ada mo limo yang harus di jalankan anak putu Bonokeling pertama Manembah artinya manusia itu di ciptakan untuk menyembah kepada sang pencipta, Meguru artinya di dunia ini manusia itu harus mempunyai guru sebagai pembimbing termasuk orang tua, sekolahan, Mengabdi artinya sesrawungan atau bersaudara kepada manusia, Makaryo artinya manusia di ciptakan tidak hanya cukup berdoa saja tetapi harus bekerja , Manunggaling Kawulo Gusti lan Maneges Manungsa iku saking Pangeran bali marang Pangeran. Makanya dalam istilah Jawa disebutkan Japa (harus percaya ilmu itu tidak bisa di buat oleh mausia , hanya Yang Maha Kuasa yang Punya, manusia hanya bisa mempelajari ilmu yang telah Tuhan ciptakan), Srana, Ilmu (termasuk ilmu pengetahuan), Laku (kelakuan pribadi yang dimiliki), Tapa (mencari ilmu. 

    Sebelum menjadi anak putu Bonokeling, setelah di sunat anak akan difatarkan menjadi anggota, Kemudian ketika usianya sudah mencapai 17 tahun maka akan di gulowentah (di beri ilmu tentang setiap kegiatan tradisi Bonokeling). Pengikut ajaran Bonokeling ini pertama berpegang pada Kitab Turki (pituturing kaki atau petunjuk simbah) menggambarkan sifat manusia yang asor dari hati sampai kaki. Kedua berpegang pada Pakem (papake cangkem) gambaran manusia yang kotor-kotor dari leher ke atas. Dalam tradisi Anak Putu Bonokeling ketika ziarah atau berkunjung ke makam leluhurnya Anak putu Bonokeling dalam mendoakan leluhur yang telah meninggal dengan cara menggunakan dupa (kemenyan) sebagai perantara agar doanya sampai ke yang Maha Kuasa. Dalam komunitas anak putu Bonokeling Dupa memiliki makna Filosofis, yang artinya dumunung ing pangeran atau sampai kepada Tuhan, asap yang membumbung tinggi ke langit sebagi simbol perantara bahwa doa kita sedang menuju ke Tuhan. Menurut pendapat Sumitro mengenai orang-orang yang suka menyalahkan tradisi-tradisi leluhurberati mereka tidak memahami masuknya Islam ke tanah Jawa dengan pendekatan kebudayaan seperti yang dilakukan oleh walisongo, terutama Sunan Kalijaga yang mendakwahkan Islam dengan budaya wayang dan musik gamelan. 

 Sumber : Wawancara dengan Bpk. Sumitro (Ketua Adat Bonokeling ) pada hari Minggu 23 September 2018 pukul 10.00.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak